Dapur Solo, Perjuangan Swandani Dari Sebuah Garasi

Sejak beberapa tahun terakhir ini, Jakarta dibanjiri berbagai rumah makan tradisional. Hal itu terjadi, karena bahan dasar makanan tradisional Indonesia itu murah dan mudah didapat, sedangkan hasil olahannya bisa dijual semahal mungkin. Lalu, dengan sedikit polesan interior dan eksterior bangunan, serta penataan yang terkesan mewah, restoran tradisional sudah dapat diubah menjadi fine dining. Di sisi lain, perlahan namun pasti, masyarakat mulai jenuh dengan makanan bule seperti fried chicken, french fries, atau burger. Lebih dari itu semua, pada umumnya rumah makan tradisional menyediakan makanan berat (baca: nasi) dan sebagian besar masyarakat Indonesia merasa belum makan, kalau belum “bertemu” nasi.
Salah satu dari sekian restoran tradisional tersebut yaitu Dapur Solo (DS). Rumah makan yang terletak di kawasan Sunter ini menyajikan aneka makanan Jawa, khususnya dari Solo. “Dalam berbisnis makanan, saya merasa harus membuat spesifikasi. Akhirnya, muncul ide untuk membuat makanan tradisional Jawa. Di sisi lain, kehadiran DS merupakan penyegar di tengah-tengah kejenuhan masyarakat akan fried chicken, sekaligus pembelajaran bagi anak-anak muda zaman sekarang yang tidak lagi mengenal makanan tradisional, terutama dari Solo, seperti urap, bothok, selat, dan sebagainya,” kata Swandani, Director Dapur Solo Group.
Namun, DS bukanlah rumah makan kemarin sore. Kemunculannya dimulai pada 1986 dari sebuah garasi yang hanya menjual rujak dan es juice. “Modalnya Rp100 ribu, sedangkan omsetnya Rp3000,- sampai Rp5.000,- per hari,” ujar Swan, sapaan akrabnya.
Dengan berjalannya waktu, perempuan yang mengaku membuka warung karena gila kerja ini, menambahi menu makanannya dengan ayam goreng Kalasan, aneka kolak, dan sebagainya sehingga garasi rumah ini berubah menjadi kedai, yang ramai dikunjungi orang-orang kantoran untuk makan siang.
Sayangnya, kedai ini berlokasi di tengah-tengah perumahan yang padat dan jalan yang sempit, sehingga tidak tampak jelas dari luar. “Menurut saya, kalau mau buka usaha ya harus di tempat untuk buka usaha, jangan di perumahan,” kata ibu satu anak ini. Berdasarkan informasi dari sang suami yang bekerja di sebuah perusahaan pengembang real estate bahwa telah dibangun rumah toko (ruko) untuk pertama kalinya di Sunter, keluarga kecil ini pun boyongan pindah ke ruko berukuran 5x19 m² yang mereka beli secara kredit tersebut, dengan terlebih dulu menjual rumah mereka, pada 1990-an. Di tempat inilah, berdiri RM (Rumah Makan) Solo, cikal bakal DS yang hanya menyediakan makanan khas Solo.
Pada 1997, terjadi krisis moneter (krismon). Banyak bisnis ambruk, termasuk developer dan rumah makan. Tapi, hal ini tidak berpengaruh kuat bagi RM Solo. Buktinya, jika restoran lain omsetnya melorot hingga 50%, omset RM Solo cuma turun 10%. “Suami saya yang menganggur, memutuskan untuk ikut membantu bisnis saya. Apalagi, dia melihat prospek cerah bisnis ini. Lantas, suami saya melemparkan ide untuk mengembangkan rumah makan ini, sekaligus membantu mereka yang kehilangan pekerjaan karena krismon,” ucap wanita yang mengaku tidak bisa masak ini.
Bergabungnya sang suami dalam bisnis ini, memunculkan banyak ide di benak Swan, sekaligus tekad untuk mengembangkannya sebesar mungkin. Pertama, menyediakan makanan tradisional Jawa (bukan cuma dari Solo), yang dapat diterima semua suku. Caranya, memodifikasi rasa sangat manis pada makanan Jawa, tanpa orang Jawa merasa kehilangan rasa asli makanan tersebut. Kedua, meningkatkan jumlah pelanggan yang mulai berkurang, dengan meng-hire seorang desainer grafis untuk melakukan perombakan besar-besaran baik interior, eksterior, logo, dus, maupun branding name. Hasilnya? “Luar biasa! Konsep bangunan ternyata merupakan daya tarik pertama, sebelum konsumen mencicipi makanannya,” ujar sarjana perhotelan ini.
Langkah ini diikuti perubahan nama RM Solo menjadi DS sekitar empat tahun lalu, karena suatu saat ingin mewaralabakan bisnis ini. DS yang dibangun dengan modal Rp200 juta ini, terbagi menjadi dua lantai di mana lantai pertama digunakan sebagai rumah makan, sedangkan lantai kedua untuk ruang pertemuan yang mampu menampung 50 orang. Langkah berikutnya dilakukan ketika DS yang memiliki 20 jenis makanan dan minuman gagal menaikkan jumlah pelanggan di malam hari, sehingga rumah makan berkonsep ruangan minimalis moderen ini hanya dibuka dari pagi hingga sore. “Mungkin mereka berpikir bahwa makanan tradisional, khususnya yang dari Jawa, cuma cocok untuk makan siang. Kebetulan, hampir semua pelanggan saya adalah orang kantoran dan keluarga yang dengan uang Rp20 ribu dijamin sudah kenyang,” katanya.
Sumber :
Majalah Pengusaha
0 comments to "Dapur Solo, Perjuangan Swandani Dari Sebuah Garasi"
Posting Komentar